Jumat, 07 Juni 2013

MAKALAH HUBUNGAN ANTAR PEMIMPIN DALAM ISLAM



BAB I
PENDAHULUAN

            Ibn Umar ra. meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: Ingatlah! Setiap kalian adalah seorang pemimpin, dan masing-masing kalian bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya. Seorang kepala negara adalah pemimpin atas rakyatnya, dan ia bertanggung jawab atas umat yang dipimpinnya. Seorang lelaki adalah pemimpin dalam keluarganya, dan ia bertanggung jawab atas keluarga yang dipimpinnya. Seorang wanita adalah pemimpin dalam rumah suaminya, dan ia bertanggung jawab atas segala yang ada dalam rumah suaminya. Seorang hamba adalah pemimpin atas harta tuannya, dan ia bertanggung jawab atas hartanya tersebut. Ingatlah! Setiap kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpin.”
















BAB II
PEMBAHASAAN

1.       HUBUNGAN ANTAR PEMIMPIN DALAM ISLAM

a.       Prinsip-Prinsip Pemimpin Dalam Islam

Dalam Islam prinsip kepemimpinan dirumuskan dalam prinsip khalifah. Dalam prinsip khalifah, manusia diturunkan ke bumi untuk memimpin sekaligus pemelihara alam semesta. Walau menjadi pemimpin namun tidak diperkenankan untuk berbuat seenaknya terhadap alam dan seiisinya.
            Dari prinsip tersebut, Islam memberi saran agar memilih pemimpin yang membimbing kehidupannya. Imam Mawardi memberikan sejumlah kriteria pemimpin yang baik, yakni memiliki ilmu, sehat panca indra, serta dapat menangkap masalah masyarakat dengan benar dan cepat.
           “Sebaik-baiknya kamu adalah mereka yang kamu cintai dan mereka pun mencintai kamu; kamu menghormati mereka dan mereka menghormati kamu. Sejelek-jeleknya pemimpin kamu adalah mereka yang kamu benci dan mereka pun benci kepadamu; kamu melaknat mereka dan mereka juga melaknat kamu” (Al-Hadits).
             Dalam Islam mekanisme pemilihan pemimpin dilalui melalui jalan musyawarah. Pemimpin yang terpilih dalam musyawarah patut ditaati selama tidak melanggar hukum dan ajaran agama. Pemimpin yang terpilih bukan hanya bertanggung jawab kepada masyarakat yang memilihnya, tetapi juga akhirat. Rasulullah mensejajarkan pemimpin dengan para rasul yang mewakili Tuhan di bumi. Pemimpin yang melanggar aturan dan perintah Allah, maka status kepemimpinannya hanya sebatas simbol saja, dan tak patut untuk dipatuhi. Pemimpin yang melanggar amanah hanya menimbulkan keresahan dan ketidakpastian.



Ibn Umar ra. meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: Ingatlah! Setiap kalian adalah seorang pemimpin, dan masing-masing kalian bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya. Seorang kepala negara adalah pemimpin atas rakyatnya, dan ia bertanggung jawab atas umat yang dipimpinnya. Seorang lelaki adalah pemimpin dalam keluarganya, dan ia bertanggung jawab atas keluarga yang dipimpinnya. Seorang wanita adalah pemimpin dalam rumah suaminya, dan ia bertanggung jawab atas segala yang ada dalam rumah suaminya. Seorang hamba adalah pemimpin atas harta tuannya, dan ia bertanggung jawab atas hartanya tersebut. Ingatlah! Setiap kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpin.”
Membaca hadits nabi Muhammad SAW di atas, kita akan melihat betapa hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin memiliki keterkaitan yang sangat erat dan hampir tak dapat dipisahkan. Hadits ini menggambarkan bagaimana sesungguhnya sebuah pola kepemimpinan, baik dalam lingkup besar antara rakyat dan penguasa, hingga lingkup terkecil sebagai seorang individu. Sebagai individu, seseorang tidak terlepas dari mata rantai bahwa ia seorang pemimpin, sekaligus sebagai orang yang dipimpin. Sebagai pemimpin diri pribadi, ia harus bisa mengarahkan dirinya pada visi dan misi ke depan yang berorientasi pada kemajuan dan perbaikan. Dan sebagai pribadi yang dipimpin, ia pun harus mempunyai kemauan dan tekad yang kuat untuk melaksanakan visi dan misi tersebut, sehingga apa yang dicita-citakan dapat tercapai dengan baik. Demikian pula hendaknya relasi yang terbina antara rakyat dan penguasa. Seorang pemimpin yang andal tidak cukup dengan memiliki kemampuan untuk mempengaruhi masyarakat di sekitarnya untuk menjalankan suatu ide-ide penting, tapi juga mampu mengkoordinasikan hal-hal tersebut dengan kelompok masyarakat yang notabene sebagai kalangan praksis sekaligus sebagai kalangan pertama yang akan merasakan imbas positif ataupun negatif dari rancangan-rancangan program yang dijalankan.
Dalam Lisan al-‘Arab juga disebutkan seperti apa sesungguhnya keterikatan yang erat antara seorang pemimpin dan rakyatnya. Ini bisa dilihat dari istilah yang digunakan untuk mendefinisikan kedua kata tersebut. Dalam bahasa Arab, al-Râ’i berarti pemimpin, dan al-Ra’iyyah berarti rakyat. Bila diperhatikan, kedua kata ini memiliki akar kata yang sama, ra-‘a-ya. Menariknya lagi, pengertian al-Râ’i dan al-Ra’iyyah tidak hanya sebatas pemimpin dan rakyat saja. Pemilihan kata al-Râ’i dan al-Ra’iyyah sendiri memiliki filosofi makna yang cukup mendalam. al-Râ’i berarti mengayomi, menjaga atau melindungi, sedangkan al-Ra’iyyah dimaknai sebagai orang yang diayomi, dijaga atau dilindungi. Dengan demikian, seorang pemimpin bukan saja seseorang yang memiliki kuasa dan kewenangan, tapi juga pemimpin adalah orang yang senantiasa mengayomi, memperhatikan dan melindungi hak-hak rakyatnya.
Permasalahannya, bagaimana relasi antara rakyat dan pemimpin dapat terbina dengan baik, layaknya seorang individu yang memimpin dan dipimpin sebagai sebuah kesatuan? Sebab yang terjadi, seringkali pemimpin yang mempunyai niat baik untuk menyejahterakan rakyatnya, tak mampu menangkap esensi utama dari keinginan-keinginan yang disuarakan rakyat. Kebijakan-kebijakan yang diutarakan dengan maksud sebagai problem solving terhadap masalah rakyat, pada kenyataannya tidak tepat guna. Sebagai contoh, kasus para buruh migran yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan. Para kaum buruh migran yang hanya menginginkan hak perlindungan hukumnya terpenuhi, justru diberi tawaran lain yang meski terlihat menggiurkan tapi dirasa tidak relevan untuk diutarakan. Begitu pula sebaliknya, adakalanya rakyat yang tak bisa memahami secara logika rencana-rencana dan i’tikad baik yang dicanangkan oleh seorang pemimpin. Rakyat yang tak memiliki kewenangan kuasa sepenuh kewenangan pemimpin, hanya bisa menyuarakan aspirasinya di jalan-jalan semacam berunjuk rasa. Tak jarang dalam praktiknya, terjadi tindakan anarkisme yang bukan saja mempengaruhi kewibawaan seorang pemimpin, tapi yang lebih riil lagi berdampak pada rakyat itu sendiri. Mereka yang tak terpenuhi hak-haknya, mereka pula yang menjadi korban pada saat menagih hak-haknya.
Seringnya terjadi masalah antara rakyat dan pemimpin di negeri ini, jelas menunjukkan ada yang salah dalam ikatan hubungan keduanya.  Terang sekali, tak ada sinkronisasi dalam hubungan keduanya. Pemimpin sebagai orang yang punya kuasa sekaligus menjadi seorang teladan, mempunyai porsi yang lebih besar, dalam upaya memperbaiki dan membina hubungan yang harmonis dengan rakyatnya. Seorang pemimpin, harus bisa memupuk kepercayaan.   
                Pemimpin yang baik menurut pandangan Islam adalah pemimpin yang senantiasa memperhatikan dan memperjuangkan kesejahteraan rakyat, mengedepankan nilai-nilai kebaikan, dan selalu berpegang teguh pada etika moral agama. Hal ini sejalan dengan firman Allah yang tergambar dalam beberapa ayat-Nya, di antaranya: Dan Kami menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, dan Kami wahyukan kepada mereka agar berbuat kebaikan, melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat, dan hanya kepada Kami mereka menyembah. (QS. al-Anbiya [21]: 73). Di dalam ayat lain disebutkan: Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami selama mereka sabar. Mereka meyakini ayat-ayat Kami (QS. al-Sajadah [32]: 24).
Seorang pemimpin sebagai seorang pembuat kebijakan, tak pelak juga disebut sebagai pelaku moral. Sebab, disadari atau tidak, setiap kebijakan yang dibuat, sedikit banyaknya mestilah memiliki kandungan moral. Setiap keputusan yang dibuat, pastilah demi kemaslahatan dan kebaikan bersama, bukan untuk kesewenang-wenangan atau demi kepentingan pribadi semata. Seorang pemimpin yang bermoral pasti akan tergelitik hatinya, bila apa yang diutarakan dan apa yang diperbuat bertentangan dengan etika dan hati nuraninya.
Tentu saja, seorang pelaku moral terbaik yang menjadi panutan umat muslim adalah nabi Muhammad SAW. Beliau diutus ke muka bumi tidak hanya mengajarkan akhlak yang baik dalam setiap sisi interaksi manusia, tapi juga mempraktekkannya dalam kehidupan nyata. Di antaranya adalah akhlak atau moral sebagai pemimpin yang senantiasa berinteraksi dengan masyarakat yang dipimpinnya. Muhammad Abdul ‘Athi Buhaira mengemukakan beberapa akhlak kepemimpinan dan kebijaksanaan yang telah diterapkan oleh Rasulullah SAW.
Pertama, moral keberanian. Keberanian yang dimiliki seorang pemimpin, tidak hanya dalam konteks memerangi sesuatu yang nyata. Seperti berperang melawan kaum musyrik di zaman Rasulullah, atau berperang melawan penjajah di masa pra-kemerdekaan Indonesia. Seorang pemimpin harus memiliki keberanian dalam menegakkan kebenaran, membela dan mempertahankan kebenaran, dan memenangkan kebenaran. Seorang pemimpin yang bermoral baik, juga harus memiliki keberanian dalam bertindak dan mengambil keputusan.
Karena itu, dalam berbagai kesempatan Rasulullah tidak hanya menyemangati umatnya untuk bersikap berani. Tetapi juga memperingatkan mereka untuk tidak terjebak dalam sifat pengecut atau takut yang merupakan lawan dari sifat berani. Rasulullah sendiri mengategorikan sifat pengecut ini sebagai salah satu perbuatan buruk, seperti yang dikemukakan dalam sabdanya.
Beliau bersabda: “Jauhilah tujuh perbuatan buruk!”, mereka berkata: “Apa saja itu Rasulullah?”, Beliau mengatakan: “Menyekutukan Allah, berbuat sihir, membunuh manusia tanpa hak, memakan riba’, memakan harta anak yatim, mundur dari medan pertempuran, dan menuduh perempuan baik-baik berbuat lengah” (HR. Bukhary, Muslim, Ahmad, dan lainnya).
Mundur dari medan pertempuran dalam hadits ini, tidak semata-mata dimaknai sebagai mundur dari medan peperangan dalam arti yang sebenarnya, tapi juga dimaknai sebagai mundur dari medan permasalahan yang tengah dihadapi.
Kedua, moral mengedepankan musyawarah. Seseorang pemimpin yang berakhlak tidak akan bertindak atas kepentingan dan kemauan ego sendiri. Setiap keputusan dan tindakan yang diambil selalu dilandasi pada musyawarah. Dengan bermusyawarah, kita tidak hanya mencari solusi yang terbaik dari setiap permasalahan, tetapi dengan bermusyawarah pula seorang pemimpin akan bisa mendengar dan mengetahui sudut pandang dari masyarakatnya terhadap suatu masalah, dan solusi seperti apa yang ingin mereka kedepankan.
 Ketiga, moral berlaku adil. Sebagai pelaku moral, seorang pemimpin juga mesti bersikap adil. Terlebih, sikap adil adalah tonggak utama kokohnya sebuah kepemimpinan.   
Keempat, bersikap bijaksana. Dari sekian banyak perbedaan dan silang pendapat yang terjadi, seorang pemimpin mesti bersikap bijaksana tanpa harus berat sebelah pada kelompok tertentu. Seorang pemimpin juga harus bersikap bijaksana dalam menyelesaikan permasalahan yang tengah dihadapi.
Hendaknya sifat-sifat moral kepemimpinan tersebut juga menjadi teladan dan pedoman bagi para pemimpin bangsa. Bila seorang pemimpin benar-benar memedomani akhlak Rasulullah tersebut, niscaya ia akan menjadi pemimpin yang disenangi rakyatnya. Sehingga beragam kebijakan-kebijakan yang dicanangkan untuk menyejahterakan rakyat benar-benar dapat berjalan dengan baik.
Dengan bermodal akhlak kepemimpinan yang diwariskan oleh Rasulullah SAW, seorang pemimpin harus bisa memupuk kepercayaan di mata rakyatnya. Selain itu, seorang pemimpin yang baik senantiasa menjalin komunikasi dan silaturahmi dengan rakyatnya. Sebab, bila kita perhatikan, permasalahan yang muncul merupakan dampak adanya komunikasi yang buruk antara rakyat dan penguasa. Atau karena ketiadaan keinginan untuk mendengarkan secara fokus jeritan hati rakyat. Adapun rakyat, seyogyanya juga harus bisa bersikap manut dan nrimo terhadap kebijakan-kebijakan pemimpin, tanpa harus meninggalkan kritisismenya. Meski demikian, rakyat juga harus bisa bersikap arif dan bijaksana ketika menyuarakan pendapatnya, tanpa harus bertindak emosional dan anarkis, yang pada akhirnya tentu saja akan merugikan kedua belah pihak.  Allah SWT berfirman, Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama bagimu, dan lebih baik akibatnya (QS. al-Nisa [4]: 59).

3.Menjalin Hubungan Dengan Para Ulil Amri (Pemimpin)
Kita harus melakukan hubungan dengan para ulil amri baik dari kalangan pemimpin dan para hakim penanggung jawab peradilan serta tokoh-tokoh lembaga-lembaga penting dan kepala-kepala penanggung jawab pemerintahan. Kita tidak boleh berlaku kaku dan merasa bahwa kita di satu lembah sementara mereka di lembah yang lain. Sebab ketika perasaan seperti ini telah tertanam maka segala usaha perbaikan bisa jadi akan terhalang. Namun kita hendaknya bersikap tawadhu demi terwujudnya Al-Haq. Nabi shalallohu ‘alahi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya barangsiapa yang berlaku tawadhu’ karena Alloh maka Alloh akan mengangkatnya” (HR. Muslim no. 2588 dalam kitab Al-Birr was Shilah dari hadits Abu Hurairah)
Bila kita telah memiliki hubungan dengan para pemimpin, hakim, hakim pengadilan dan para kepala instansi yang mengurusi urusan kaum muslimin, terjadi sikap saling memahami antara kita, tentu akan berhasil dengan sangat baik, InsyaAlloh.
Sesungguhnya salah satu sebab keberhasilan dakwah kepada Alloh adalah bila dakwah memiliki dukungan dari pemilik kekuasaan dalam suatu Negara, karena dakwah dan kekuasaan adalah dua pilar perbaikan terhadap umat. Bila keduanya bertemu dan bersatu maka akan terwujudlah tujuan dan maksud dakwah itu dengan izin Alloh. Namun jika keduanya berpisah maka segala usaha akan sia-sia atau melemah sampai batas serendah-rendahnya.
Oleh karena itu, menjadi suatu kemestian bagi setiap negara yang menginginkan kemulian yang hakiki dan kokoh serta kekuasaan di atas muka bumi; untuk mengambil agama Alloh Subhanallohu wa Ta’ala dan berjalan di atas petunjuk Rasulullah shalallohu ‘alahi wa sallam, serta meninggalkan semua sistem dan aturan yang tidak sesuai dengan agama Alloh Subhanallohu wa Ta’ala dan petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam karena kalimat Alloh-lah yang tertinggi dan hanya agamaNya yang akan menang. Barangsiapa yang memegangi Kalimat Alloh Subhanallohu wa Ta’ala dan agamaNya maka dialah yang akan mendapatkan ketinggian dan kemulian atas orang-orang yang menentang.
Alloh Subhanallohu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “(Sebagai) janji yang sebenarnya dari Allah. Allah tidak akan menyalahi janjiNya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS. Ar-Ruum: 6-7)
Kewajiban setiap negara yang menginginkan kemulian yang hakiki lagi kokoh dan kekuasaan di bumi adalah mendukung dakwah kepada Alloh Subhanallohu wa Ta’ala dengan segala kemampuan kekuasaan berupa perkataan atau perbuatan yang memberikan motivasi dan peringatan. Sebab seringkali Alloh Subhanallohu wa Ta’ala menyadarkan lewat penguasa apa yang tidak tersadarkan dengan Al Qur’an, karena bila keimanan telah melemah dalam hati manusia maka kekuatan penguasa jauh lebih dapat menakut-nakuti mereka dari maksiat dan dapat lebih meluruskan mereka untuk taat, hingga mereka dapat berlaku istiqomah dan sholih.
Demikian pula para da’i yang berdakwah dengan landasan bashiroh harus membangun hubungan dengan pemimpin di negaranya dan mendorong mereka berjalan bersama-sama di atas Al-Haq, menjelaskan kepada mereka tentang akibat yang terpuji lagi bahagia di dunia dan di akhirat (bila berjalan di atas Al-Haq), dan mengingatkan mereka dari menyelisihi (Al-Haq) serta penjelasan akibat buruk dan kesengsaraan di dunia dan di akhirat (bila menyelisihi Al-Haq), serta mendorong mereka untuk mendukung dakwah kepada Alloh Subhanallohu wa Ta’ala dengan segala kemampuan mereka dan mengingatkan mereka dari mengkhianati dan melakukan segala tindakan yang menentang dakwah tersebut.
Marilah kita memohon kepada Alloh Subhanallohu wa Ta’ala agar senantiasa mnyatukan hati kita, menjadikan kita orang-orang yang berhukum kepada Alloh Subhanallohu wa Ta’ala dan Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam, mengikhlaskan niat dan menjelaskan apa yang tersembunyi dari syairat Islam bagi kita, menjadikan kita sebagai para penyeru kebaikan dan pencegah kemungkaran, serta menyiapkan bagi umat Islam ini para kader kebaikan dan pembina, serta para pemimpin yang sholih yang memutuskan dengan Al-Haq dan berlaku adil.













BAB III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Dalam Islam prinsip kepemimpinan dirumuskan dalam prinsip khalifah. Dalam prinsip khalifah, manusia diturunkan ke bumi untuk memimpin sekaligus pemelihara alam semesta. Walau menjadi pemimpin namun tidak diperkenankan untuk berbuat seenaknya terhadap alam dan seiisinya.
Membaca hadits nabi Muhammad SAW di atas, kita akan melihat betapa hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin memiliki keterkaitan yang sangat erat dan hampir tak dapat dipisahkan. Hadits ini menggambarkan bagaimana sesungguhnya sebuah pola kepemimpinan, baik dalam lingkup besar antara rakyat dan penguasa, hingga lingkup terkecil sebagai seorang individu. Sebagai individu, seseorang tidak terlepas dari mata rantai bahwa ia seorang pemimpin, sekaligus sebagai orang yang dipimpin
Kita harus melakukan hubungan dengan para ulil amri baik dari kalangan pemimpin dan para hakim penanggung jawab peradilan serta tokoh-tokoh lembaga-lembaga penting dan kepala-kepala penanggung jawab pemerintahan. Kita tidak boleh berlaku kaku dan merasa bahwa kita di satu lembah sementara mereka di lembah yang lain







DAFTAR PUSTAKA



0 komentar:

Posting Komentar