BAB I
PENDAHULUAN
Ibn Umar ra. meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Ingatlah! Setiap kalian adalah seorang
pemimpin, dan masing-masing kalian bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya.
Seorang kepala negara adalah pemimpin atas rakyatnya, dan ia bertanggung jawab
atas umat yang dipimpinnya. Seorang lelaki adalah pemimpin dalam keluarganya,
dan ia bertanggung jawab atas keluarga yang dipimpinnya. Seorang wanita adalah
pemimpin dalam rumah suaminya, dan ia bertanggung jawab atas segala yang ada
dalam rumah suaminya. Seorang hamba adalah pemimpin atas harta tuannya, dan ia
bertanggung jawab atas hartanya tersebut. Ingatlah! Setiap kalian adalah
pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpin.”
BAB II
PEMBAHASAAN
1.
HUBUNGAN ANTAR PEMIMPIN DALAM ISLAM
a. Prinsip-Prinsip Pemimpin
Dalam Islam
Dalam Islam prinsip
kepemimpinan dirumuskan dalam prinsip khalifah. Dalam prinsip khalifah, manusia
diturunkan ke bumi untuk memimpin sekaligus pemelihara alam semesta. Walau
menjadi pemimpin namun tidak diperkenankan untuk berbuat seenaknya terhadap
alam dan seiisinya.
Dari prinsip tersebut, Islam memberi saran agar memilih pemimpin yang
membimbing kehidupannya. Imam Mawardi memberikan sejumlah kriteria pemimpin
yang baik, yakni memiliki ilmu, sehat panca indra, serta dapat menangkap
masalah masyarakat dengan benar dan cepat.
“Sebaik-baiknya kamu adalah mereka yang kamu cintai dan mereka pun
mencintai kamu; kamu menghormati mereka dan mereka menghormati kamu.
Sejelek-jeleknya pemimpin kamu adalah mereka yang kamu benci dan mereka pun
benci kepadamu; kamu melaknat mereka dan mereka juga melaknat kamu”
(Al-Hadits).
Dalam Islam mekanisme pemilihan pemimpin dilalui melalui jalan
musyawarah. Pemimpin yang terpilih dalam musyawarah patut ditaati selama tidak
melanggar hukum dan ajaran agama. Pemimpin yang terpilih bukan hanya
bertanggung jawab kepada masyarakat yang memilihnya, tetapi juga akhirat.
Rasulullah mensejajarkan pemimpin dengan para rasul yang mewakili Tuhan di
bumi. Pemimpin yang melanggar aturan dan perintah Allah, maka status
kepemimpinannya hanya sebatas simbol saja, dan tak patut untuk dipatuhi.
Pemimpin yang melanggar amanah hanya menimbulkan keresahan dan ketidakpastian.
Ibn Umar ra.
meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Ingatlah! Setiap kalian adalah seorang pemimpin, dan masing-masing kalian
bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya. Seorang kepala negara adalah
pemimpin atas rakyatnya, dan ia bertanggung jawab atas umat yang dipimpinnya.
Seorang lelaki adalah pemimpin dalam keluarganya, dan ia bertanggung jawab atas
keluarga yang dipimpinnya. Seorang wanita adalah pemimpin dalam rumah suaminya,
dan ia bertanggung jawab atas segala yang ada dalam rumah suaminya. Seorang
hamba adalah pemimpin atas harta tuannya, dan ia bertanggung jawab atas
hartanya tersebut. Ingatlah! Setiap kalian adalah pemimpin dan bertanggung
jawab atas apa yang dipimpin.”
Membaca hadits nabi Muhammad SAW di
atas, kita akan melihat betapa hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin
memiliki keterkaitan yang sangat erat dan hampir tak dapat dipisahkan. Hadits
ini menggambarkan bagaimana sesungguhnya sebuah pola kepemimpinan, baik dalam
lingkup besar antara rakyat dan penguasa, hingga lingkup terkecil sebagai
seorang individu. Sebagai individu, seseorang tidak terlepas dari mata rantai
bahwa ia seorang pemimpin, sekaligus sebagai orang yang dipimpin. Sebagai
pemimpin diri pribadi, ia harus bisa mengarahkan dirinya pada visi dan misi ke
depan yang berorientasi pada kemajuan dan perbaikan. Dan sebagai pribadi yang
dipimpin, ia pun harus mempunyai kemauan dan tekad yang kuat untuk melaksanakan
visi dan misi tersebut, sehingga apa yang dicita-citakan dapat tercapai dengan
baik. Demikian pula hendaknya relasi yang terbina antara rakyat dan penguasa.
Seorang pemimpin yang andal tidak cukup dengan memiliki kemampuan untuk
mempengaruhi masyarakat di sekitarnya untuk menjalankan suatu ide-ide penting,
tapi juga mampu mengkoordinasikan hal-hal tersebut dengan kelompok masyarakat
yang notabene sebagai kalangan praksis sekaligus sebagai kalangan pertama yang
akan merasakan imbas positif ataupun negatif dari rancangan-rancangan program
yang dijalankan.
Dalam Lisan al-‘Arab juga
disebutkan seperti apa sesungguhnya keterikatan yang erat antara seorang
pemimpin dan rakyatnya. Ini bisa dilihat dari istilah yang digunakan untuk
mendefinisikan kedua kata tersebut. Dalam bahasa Arab, al-Râ’i berarti
pemimpin, dan al-Ra’iyyah berarti rakyat. Bila diperhatikan, kedua kata
ini memiliki akar kata yang sama, ra-‘a-ya. Menariknya lagi, pengertian al-Râ’i
dan al-Ra’iyyah tidak hanya sebatas pemimpin dan rakyat saja.
Pemilihan kata al-Râ’i dan al-Ra’iyyah sendiri memiliki filosofi
makna yang cukup mendalam. al-Râ’i berarti mengayomi, menjaga atau
melindungi, sedangkan al-Ra’iyyah dimaknai sebagai orang yang diayomi,
dijaga atau dilindungi. Dengan demikian, seorang pemimpin bukan saja seseorang
yang memiliki kuasa dan kewenangan, tapi juga pemimpin adalah orang yang
senantiasa mengayomi, memperhatikan dan melindungi hak-hak rakyatnya.
Permasalahannya, bagaimana relasi
antara rakyat dan pemimpin dapat terbina dengan baik, layaknya seorang individu
yang memimpin dan dipimpin sebagai sebuah kesatuan? Sebab yang terjadi,
seringkali pemimpin yang mempunyai niat baik untuk menyejahterakan rakyatnya,
tak mampu menangkap esensi utama dari keinginan-keinginan yang disuarakan
rakyat. Kebijakan-kebijakan yang diutarakan dengan maksud sebagai problem
solving terhadap masalah rakyat, pada kenyataannya tidak tepat guna.
Sebagai contoh, kasus para buruh migran yang akhir-akhir ini ramai
diperbincangkan. Para kaum buruh migran yang hanya menginginkan hak
perlindungan hukumnya terpenuhi, justru diberi tawaran lain yang meski terlihat
menggiurkan tapi dirasa tidak relevan untuk diutarakan. Begitu pula sebaliknya,
adakalanya rakyat yang tak bisa memahami secara logika rencana-rencana dan
i’tikad baik yang dicanangkan oleh seorang pemimpin. Rakyat yang tak memiliki
kewenangan kuasa sepenuh kewenangan pemimpin, hanya bisa menyuarakan
aspirasinya di jalan-jalan semacam berunjuk rasa. Tak jarang dalam praktiknya,
terjadi tindakan anarkisme yang bukan saja mempengaruhi kewibawaan seorang
pemimpin, tapi yang lebih riil lagi berdampak pada rakyat itu sendiri. Mereka
yang tak terpenuhi hak-haknya, mereka pula yang menjadi korban pada saat
menagih hak-haknya.
Seringnya terjadi masalah antara rakyat
dan pemimpin di negeri ini, jelas menunjukkan ada yang salah dalam ikatan
hubungan keduanya. Terang sekali, tak ada sinkronisasi dalam hubungan
keduanya. Pemimpin sebagai orang yang punya kuasa sekaligus menjadi seorang
teladan, mempunyai porsi yang lebih besar, dalam upaya memperbaiki dan membina
hubungan yang harmonis dengan rakyatnya. Seorang pemimpin, harus bisa memupuk
kepercayaan.
Pemimpin yang baik menurut pandangan Islam adalah pemimpin yang senantiasa
memperhatikan dan memperjuangkan kesejahteraan rakyat, mengedepankan
nilai-nilai kebaikan, dan selalu berpegang teguh pada etika moral agama. Hal
ini sejalan dengan firman Allah yang tergambar dalam beberapa ayat-Nya, di antaranya:
Dan Kami menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi
petunjuk dengan perintah Kami, dan Kami wahyukan kepada mereka agar berbuat
kebaikan, melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat, dan hanya kepada Kami
mereka menyembah. (QS. al-Anbiya [21]: 73). Di dalam ayat lain disebutkan: Dan
Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk
dengan perintah Kami selama mereka sabar. Mereka meyakini ayat-ayat Kami
(QS. al-Sajadah [32]: 24).
Seorang pemimpin sebagai seorang
pembuat kebijakan, tak pelak juga disebut sebagai pelaku moral. Sebab, disadari
atau tidak, setiap kebijakan yang dibuat, sedikit banyaknya mestilah memiliki
kandungan moral. Setiap keputusan yang dibuat, pastilah demi kemaslahatan dan
kebaikan bersama, bukan untuk kesewenang-wenangan atau demi kepentingan pribadi
semata. Seorang pemimpin yang bermoral pasti akan tergelitik hatinya, bila apa
yang diutarakan dan apa yang diperbuat bertentangan dengan etika dan hati
nuraninya.
Tentu saja, seorang pelaku moral
terbaik yang menjadi panutan umat muslim adalah nabi Muhammad SAW. Beliau
diutus ke muka bumi tidak hanya mengajarkan akhlak yang baik dalam setiap sisi
interaksi manusia, tapi juga mempraktekkannya dalam kehidupan nyata. Di
antaranya adalah akhlak atau moral sebagai pemimpin yang senantiasa
berinteraksi dengan masyarakat yang dipimpinnya. Muhammad Abdul ‘Athi Buhaira
mengemukakan beberapa akhlak kepemimpinan dan kebijaksanaan yang telah
diterapkan oleh Rasulullah SAW.
Pertama, moral keberanian. Keberanian
yang dimiliki seorang pemimpin, tidak hanya dalam konteks memerangi sesuatu
yang nyata. Seperti berperang melawan kaum musyrik di zaman Rasulullah, atau
berperang melawan penjajah di masa pra-kemerdekaan Indonesia. Seorang pemimpin
harus memiliki keberanian dalam menegakkan kebenaran, membela dan
mempertahankan kebenaran, dan memenangkan kebenaran. Seorang pemimpin yang bermoral baik,
juga harus memiliki keberanian dalam bertindak dan mengambil keputusan.
Karena itu, dalam berbagai kesempatan
Rasulullah tidak hanya menyemangati umatnya untuk bersikap berani. Tetapi juga
memperingatkan mereka untuk tidak terjebak dalam sifat pengecut atau takut yang
merupakan lawan dari sifat berani. Rasulullah sendiri mengategorikan sifat pengecut
ini sebagai salah satu perbuatan buruk, seperti yang dikemukakan dalam
sabdanya.
Beliau bersabda: “Jauhilah tujuh perbuatan buruk!”,
mereka berkata: “Apa saja itu Rasulullah?”, Beliau mengatakan: “Menyekutukan Allah, berbuat sihir, membunuh
manusia tanpa hak, memakan riba’, memakan harta anak yatim, mundur dari medan pertempuran, dan menuduh
perempuan baik-baik berbuat lengah” (HR. Bukhary, Muslim, Ahmad, dan
lainnya).
Mundur dari medan pertempuran dalam
hadits ini, tidak semata-mata dimaknai sebagai mundur dari medan peperangan
dalam arti yang sebenarnya, tapi juga dimaknai sebagai mundur dari medan
permasalahan yang tengah dihadapi.
Kedua, moral mengedepankan musyawarah.
Seseorang pemimpin yang berakhlak tidak akan bertindak atas kepentingan dan kemauan
ego sendiri. Setiap keputusan dan tindakan yang diambil selalu dilandasi pada
musyawarah. Dengan bermusyawarah, kita tidak hanya mencari solusi yang terbaik
dari setiap permasalahan, tetapi dengan bermusyawarah pula seorang pemimpin
akan bisa mendengar dan mengetahui sudut pandang dari masyarakatnya terhadap
suatu masalah, dan solusi seperti apa yang ingin mereka kedepankan.
Ketiga, moral berlaku adil.
Sebagai pelaku moral, seorang pemimpin juga mesti bersikap adil. Terlebih,
sikap adil adalah tonggak utama kokohnya sebuah kepemimpinan.
Keempat, bersikap bijaksana. Dari
sekian banyak perbedaan dan silang pendapat yang terjadi, seorang pemimpin
mesti bersikap bijaksana tanpa harus berat sebelah pada kelompok tertentu.
Seorang pemimpin juga harus bersikap bijaksana dalam menyelesaikan permasalahan
yang tengah dihadapi.
Hendaknya sifat-sifat moral
kepemimpinan tersebut juga menjadi teladan dan pedoman bagi para pemimpin
bangsa. Bila seorang pemimpin benar-benar memedomani akhlak Rasulullah
tersebut, niscaya ia akan menjadi pemimpin yang disenangi rakyatnya. Sehingga
beragam kebijakan-kebijakan yang dicanangkan untuk menyejahterakan rakyat
benar-benar dapat berjalan dengan baik.
Dengan bermodal akhlak kepemimpinan
yang diwariskan oleh Rasulullah SAW, seorang pemimpin harus bisa memupuk
kepercayaan di mata rakyatnya. Selain itu, seorang pemimpin yang baik
senantiasa menjalin komunikasi dan silaturahmi dengan rakyatnya. Sebab, bila
kita perhatikan, permasalahan yang muncul merupakan dampak adanya komunikasi
yang buruk antara rakyat dan penguasa. Atau karena ketiadaan keinginan untuk
mendengarkan secara fokus jeritan hati rakyat. Adapun rakyat, seyogyanya juga
harus bisa bersikap manut dan nrimo terhadap kebijakan-kebijakan
pemimpin, tanpa harus meninggalkan kritisismenya. Meski demikian, rakyat juga
harus bisa bersikap arif dan bijaksana ketika menyuarakan pendapatnya, tanpa
harus bertindak emosional dan anarkis, yang pada akhirnya tentu saja akan
merugikan kedua belah pihak. Allah SWT berfirman, Wahai orang-orang
yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri
(pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian
itu, lebih utama bagimu, dan lebih baik akibatnya (QS. al-Nisa [4]: 59).
3.Menjalin Hubungan Dengan Para Ulil Amri (Pemimpin)
Kita harus melakukan hubungan dengan para ulil amri baik dari
kalangan pemimpin dan para hakim penanggung jawab peradilan serta tokoh-tokoh
lembaga-lembaga penting dan kepala-kepala penanggung jawab pemerintahan. Kita
tidak boleh berlaku kaku dan merasa bahwa kita di satu lembah sementara mereka
di lembah yang lain. Sebab ketika perasaan seperti ini telah tertanam maka
segala usaha perbaikan bisa jadi akan terhalang. Namun kita hendaknya bersikap
tawadhu demi terwujudnya Al-Haq. Nabi shalallohu
‘alahi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya barangsiapa yang berlaku tawadhu’ karena Alloh maka
Alloh akan mengangkatnya” (HR. Muslim no. 2588
dalam kitab Al-Birr was Shilah dari hadits Abu Hurairah)
Bila
kita telah memiliki hubungan dengan para pemimpin, hakim, hakim pengadilan dan
para kepala instansi yang mengurusi urusan kaum muslimin, terjadi sikap saling
memahami antara kita, tentu akan berhasil dengan sangat baik, InsyaAlloh.
Sesungguhnya
salah satu sebab keberhasilan dakwah kepada Alloh adalah bila dakwah memiliki
dukungan dari pemilik kekuasaan dalam suatu Negara, karena dakwah dan kekuasaan
adalah dua pilar perbaikan terhadap umat. Bila keduanya bertemu dan bersatu
maka akan terwujudlah tujuan dan maksud dakwah itu dengan izin Alloh. Namun
jika keduanya berpisah maka segala usaha akan sia-sia atau melemah sampai batas
serendah-rendahnya.
Oleh karena
itu, menjadi suatu kemestian bagi setiap negara yang menginginkan kemulian yang
hakiki dan kokoh serta kekuasaan di atas muka bumi; untuk mengambil agama Alloh
Subhanallohu wa Ta’ala dan berjalan di atas petunjuk Rasulullah
shalallohu ‘alahi wa sallam, serta meninggalkan
semua sistem dan aturan yang tidak sesuai dengan agama Alloh Subhanallohu wa Ta’ala dan petunjuk
Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam karena kalimat Alloh-lah yang tertinggi dan hanya agamaNya yang
akan menang. Barangsiapa yang memegangi Kalimat Alloh Subhanallohu wa Ta’ala dan agamaNya
maka dialah yang akan mendapatkan ketinggian dan kemulian atas orang-orang yang
menentang.
Alloh Subhanallohu wa Ta’ala berfirman,
yang artinya: “(Sebagai) janji yang sebenarnya dari
Allah. Allah tidak akan menyalahi janjiNya, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui, Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia;
sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS. Ar-Ruum: 6-7)
Kewajiban
setiap negara yang menginginkan kemulian yang hakiki lagi kokoh dan kekuasaan
di bumi adalah mendukung dakwah kepada Alloh Subhanallohu
wa Ta’ala dengan segala kemampuan kekuasaan berupa
perkataan atau perbuatan yang memberikan motivasi dan peringatan. Sebab
seringkali Alloh Subhanallohu wa Ta’ala menyadarkan lewat penguasa apa yang tidak tersadarkan dengan Al
Qur’an, karena bila keimanan telah melemah dalam hati manusia maka kekuatan
penguasa jauh lebih dapat menakut-nakuti mereka dari maksiat dan dapat lebih
meluruskan mereka untuk taat, hingga mereka dapat berlaku istiqomah dan sholih.
Demikian pula
para da’i yang berdakwah dengan landasan bashiroh harus membangun hubungan dengan pemimpin di negaranya dan mendorong
mereka berjalan bersama-sama di atas Al-Haq, menjelaskan kepada mereka tentang
akibat yang terpuji lagi bahagia di dunia dan di akhirat (bila berjalan di atas
Al-Haq), dan mengingatkan mereka dari menyelisihi (Al-Haq) serta penjelasan
akibat buruk dan kesengsaraan di dunia dan di akhirat (bila menyelisihi
Al-Haq), serta mendorong mereka untuk mendukung dakwah kepada Alloh Subhanallohu wa Ta’ala dengan
segala kemampuan mereka dan mengingatkan mereka dari mengkhianati dan melakukan
segala tindakan yang menentang dakwah tersebut.
Marilah kita
memohon kepada Alloh Subhanallohu wa Ta’ala agar senantiasa mnyatukan hati kita, menjadikan kita orang-orang
yang berhukum kepada Alloh Subhanallohu wa Ta’ala
dan Rasulullah
shalallahu ‘alahi wa sallam, mengikhlaskan niat
dan menjelaskan apa yang tersembunyi dari syairat Islam bagi kita, menjadikan
kita sebagai para penyeru kebaikan dan pencegah kemungkaran, serta menyiapkan
bagi umat Islam ini para kader kebaikan dan pembina, serta para pemimpin yang
sholih yang memutuskan dengan Al-Haq dan berlaku adil.
BAB
III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Dalam Islam prinsip
kepemimpinan dirumuskan dalam prinsip khalifah. Dalam prinsip khalifah, manusia
diturunkan ke bumi untuk memimpin sekaligus pemelihara alam semesta. Walau
menjadi pemimpin namun tidak diperkenankan untuk berbuat seenaknya terhadap
alam dan seiisinya.
Membaca hadits
nabi Muhammad SAW di atas, kita akan melihat betapa hubungan antara pemimpin
dan yang dipimpin memiliki keterkaitan yang sangat erat dan hampir tak dapat
dipisahkan. Hadits ini menggambarkan bagaimana sesungguhnya sebuah pola
kepemimpinan, baik dalam lingkup besar antara rakyat dan penguasa, hingga
lingkup terkecil sebagai seorang individu. Sebagai individu, seseorang tidak
terlepas dari mata rantai bahwa ia seorang pemimpin, sekaligus sebagai orang
yang dipimpin
Kita harus melakukan
hubungan dengan para ulil amri baik dari kalangan pemimpin dan para hakim penanggung
jawab peradilan serta tokoh-tokoh lembaga-lembaga penting dan kepala-kepala
penanggung jawab pemerintahan. Kita tidak boleh berlaku kaku dan merasa bahwa
kita di satu lembah sementara mereka di lembah yang lain
DAFTAR
PUSTAKA
Sumber : http://www.understanding-reality.com/2012/05/membina-hubungan-rakyat-pemimpin.html#ixzz2DHt0T3Dl
0 komentar:
Posting Komentar